08/04/2011

Lelaki Tua dan Ontel Tua (Cerpen Yongki S: dimuat di SINGGALANG minggu 3 april 2011)

Lelaki Tua dan Ontel Tua
Cerpen Yongki Sukma

Sepeda Ontel itu berderit-derit ketika seorang lelaki tua duduk diatasnya, mengayuh dengan tenang. Tua setua Si lelaki tua untuk ukuran sebuah sepeda. Menyusuri jalan setapak yang meliuk-liuk, yang menghubungkan kampungnya dengan lembah tempat dia biasa bekerja, ladangnya. Ilalang bagai menari tertiup angin, burung berkicau bernyanyi-nyanyi mengikuti derit-derit suara sepedanya, menemani Si lelaki tua itu menyusuri jalan setapak yang terkadang mendaki. Sehingga keluar menyembul urat-urat kaki Si lelaki tua ketika mengayuh sepedanya sekuat tenaga. Terkadang menurun, membuat Si lelaki tua kerepotan menyinjak sendal jopang bekas yang diapitkan digarpu depan, diatas roda depan. Jadilah sebuah rem.


          Pagi ini seperti pagi sebelum-sebelumnya. Tak ada yang berubah. Dirinya, sepedanya, pekerjaannya. Setiap pagi menyusuri jalan ini, mengurus padi yang mulai menguning diladang. Terkadang pipit-pipit nakal yang mencuri bulir padi yang mulai masak itu membuatnya jengkel, dihalau kesana, muncul disini, diturut kesini, terbang kesana. Akhirnya pernah suatu kali dia membiarkan saja burung-burung itu menyantap padinya. Dia biarkan saja.

            “Memang sudah rezekinya. Kalau rezekiku diberi Tuhan musim ini banyak, ya tetap akan banyak, tak berkurang”.
            Bila petang tiba, dia segera mengemasi barang-barang bawaannya, diikat dengan seutas karet benen bekas di tempat duduk belakang. Melihat sebentar kearah ladangnya. Lalu segera kembali mengayuh sepeda menyusuri jalan setapak yang mungkin dialah yang telah membuat jalan itu selalu hidup. Dirumah, istrinya telah menunggu. Telah siap dengan makanan seadanya yang akan mengganjal perut si lelaki tua.
Tak ada yang istimewa. Mereka hanya tinggal berdua. Menghuni sebuah rumah berdinding papan, berlantai semen dihiasi lapik pandan buatan sendiri. Tak luas, namun cukup untuk mereka berdua. Mungkin inilah alasan kenapa anak mereka satu-satunya telah pergi meninggalkan mereka, mencari rumah baru yang lebih luas. Kemudian hanya kesunyian. Kesunyian yang ada. Bila malam tiba, lampu minyak yang bercahaya remang-remang memperdalam kesunyian itu.
            Pernah suatu ketika Si lelaki tua bertengkar dengan istrinya. Dikarenakan Si istri berkehendak menjual sepeda ontel tua itu karena mereka tak punya uang lagi untuk membeli beras. Biasanya beras selalu ada. Panen tiap satu musim dari ladang mereka yang tak begitu luas cukup untuk memberi mereka makan setengah tahun, namun entah kenapa kali ini tidak.
            “Tak bisa, sepeda ini takkan kujual !”
            “Kalau begitu kita mau makan apa?!”
            “Pinjam sana sama tetangga!, Pokoknya kereta ini takkan kujual!”
            Istrinya tak punya kalimat lagi untuk membalas.
            “Ini kan salah kau juga, membagi-bagikan beras buat mereka. Mereka kan sudah berduit, bisa beli beras sendiri. Seharusnya mereka yang antar duit kesini. Ini ga, minta datang menengok kesini saja susahnya minta ampun”
            “Tapi apa salahnya aku ngasih beras buat anak-anak kita, buat cucu?!”
            Memang sepertinya tak ada yang salah. Wajar sekali ketika seorang ibu ingin memberi sesuatu buat anak-anaknya. Mungkin dengan demikianlah dia bisa mengungkapkan rasa sayangnya, meski sudah tua, hanya itu yang bisa dia berikan. Mungkin kalau dalam bentuk kata-kata sudah tak mungkin lagi. Sudah tak ahsan rasanya.
            Pagi ini, kembali seperti biasa, bekal telah disiapkan istrinya jauh-jauh sebelum subuh tadi. Tali benen telah kuat mencengkeram bekalnya yang diletakkan di tempat duduk belakang. Udara masih terasa dingin. Namun tak sanggup untuk mematahkan semangat Si lelaki tua untuk segera mengayuh sepedanya. Kembali menyusuri jalan setapak yang meliuk-liuk bagai ular. Menyambut pagi dengan rutinitas seperti ini adalah sarapannya, sudah tak asing lagi.
            Namun ada hal lain yang terasa asing dipikirannya pagi ini, pagi sebelumnya, beberapa minggu belakangan ini. Setiap kali kayuhan kakinya, tiap kali derit sepedanya bagai memompa deras pikiran asing ini semakin banyak, semakin dalam ke otaknya.
            Pikirannya melayang ke beberapa tahun silam. Telah lama sekali. Ketika itu dia masih kuat, masih bisa dikatakan muda. Dan sepedanya ini telah ada. Juga masih muda, tak berderit-derit. Anak satu-satunya, Anto ketika itu masih berumur tujuh tahun. Sering dia ajak Anto pergi ke pasar minggu yang tak jauh dari kampungnya, satu jam dengan perjalanan sepeda. Anto duduk dibelakang. “Pegang pinggang bapak yang kuat, nanti jatuh”. Anto segera memperkuat pegangannya di pinggang sang bapak.
            “Kepasar minggu, Malin?!” sapa kenalannya yang duduk duduk dikedai ditepi jalan kampung.
            “Iya?” sahutnya. “Dak pergi kepasar juga?” sambungnya berbasa-basi.
            “Dak mau tinggal si Anto ya?!” Si Anto tersipu malu-malu, disapa begitu.
            Setiap minggu, ketika itu selalu pergi ke pasar. Bukan untuk berbelanja, tapi menemui seseorang, Ajo sidi, toke karet yang selalu mangkal disana tiap minggu. Kemudian Ia segera memberitahunya bahwa dirumahnya telah ada beberapa karung karet yang siap dijual. Tak mungkin langsung dibawa kesini, tak sanggup dengan sepeda. Maka bergegaslah Ajo sidi menghidupkan mesin mobil kijang petaknya, yang waktu itu hanya dia seorang yang memiliki. Sepeda dititip  di tempat mangkal Si toke karet. Lalu mereka, bapak dan anak, menumpang mobil Ajo sidi kembali kerumah menjemput karet. Setelah selesai kembali lagi kepasar menjemput sepeda. Tidak hanya menjemput sepeda. Kali ini dipasar dengan uang telah ada ditangan.
            “Ha, sekarang kau mau beli apa, Nto? Biar bapak belikan” memanjakan anaknya.
            “itu pak, itu. Yang itu belum punya” selalu Si anak menunjuk los penjual mainan yang memamerkan begitu banyak aneka mainan yang menggoda mata Si Anto.
            “Yang ini berapa satu?”
            “Itu lima ribu rupiah pak, tak bisa ditawar harga pas”
            “Kurang lah sedikit untuk anak ku ini”
            “Tak bisa yang lain tadi juga bilang begitu, tak saya kurangi, barang bagus itu pak, ambillah satu !”
            Akhirnya pedagang juga yang menang, urusan tawar menawar memang dia tak lihai, tapi untuk si Anto dia belikan juga.
            “Ha, Anto sekarang ayo kita makan sate sama minum cindua Mak Pudin” seraya menggandeng tangan anaknya menyusuri pasar yang lebih dipadati para petani yang menjual hasil kebun atau ladangnya.
            “Besok ini kamu mulai bersekolah, tadi ibumu pesan supaya dibelikan kain merah sama putih, nanti biar dijahitkan sama Har”
            “Aku tak ingin sekolah pak” jawaban anak-anak yang lugu.
            “La, kenapa ?, biar kau tu pandai baca, pandai tulis, berhitung. Jangan kau jadi macam bapak pula. Bapak ini cuma pandai hitung uang sama hitung karet. Itupun diajari Ajo sidi, tak tahulah Ajo sidi itu nipu bapak atau tidak. Nah satu lagi supaya kau jadi orang baik, tak jadi orang jahat. Tak baik jadi orang jahat, banyak sengsaranya”.
            Potongan- potongan cahaya mentari pagi mulai menyeruak menembus daun-daun pepohonan yang memagari lembah itu. Membangunkannya dari lamunan beberapa tahun silam. Lamunan yang menciptakan pikiran-pikiran asing dikepalanya. Yang dia sendiri tak sanggup untuk menolak kedatanganya. Itu masa lalu, memang untuk dikenang. Paling tidak sebagai penghibur badanku yang sudah renta ini, pikirnya.
            Setahun yang lalu si Anto berkunjung menengok, membawa istri dan anak-anaknya. Sudah berubah saja tampangnya, tambah gagah. Mukanya tampak bersih tak seperti masa kanak-kanak dulu, kotor dan bersalemo. Sudah jadi orang kota rupanya.
            “Aduh, datang kok ga bilang-bilang, biar ibu siap-siap, ini ga ada satupun yang bisa dimakan. Aduh sudah besar saja rupanya cucu nenek ya...!”
            Kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh istrinya, ibu Si Anto. Terlihat jelas dari raut wajah dan sinar mata perempuan itu, luapan rindu yang telah lama mengendap, pecah meletup-letup.
            “Kami ga lama-lama kok bu, lagi pula menghubungi kesini pake apa, telepon ga ada” sahut Anto.
            “Lho, kok sebentar saja ? Baru juga datang”  Kecerahan wajah ibunya mulai berkurang. “Ya, kan bisa lewat surat atau apa?!” Sambungnya.
            “Lagian kami kesini ga direncanakan bu, kemarin ada teman yang menikah di Tebo. Jadi kebetulan lewat sini, ya mampir” sambung istrinya.
            “Bagaimana kabarmu dirantau Nto?, Sudah lama kau tak pulang, memberi kabar saja tidak, kasihan ibumu, selalu bertanya-tanya” Yang sedari tadi Ia hanya diam memperhatikan, kini mengambil keputusan untuk bicara.
            “Ya, mau gimana lagi pak. Sibuk sekali disana. Banyak yang terlupakan kalau sudah begitu”
            “Sekarang kau bekunjung kesini hanya sebentar pula, itu hanya juga kebetulan lewat, sudah lama sekali kau tak pulang”
            “Ya bapak sendiri maklumlah, tempat saya juga jauh, kalau sering-sering kesini biayanya lagi. Lagian disana saya juga bekerja, bukan main-main. Bapak mau saya dikampung saja ? Apa yang akan saya kerjakan disini ? Ga ada !. Selepas ini akan sering -sering saya kirimi uang sama kabar”
            “Bukan uang yang dibutuhkan ibumu !”. Juga aku, tapi kalimat itu tak keluar.
            “Cuma ini oleh-oleh dari ibu, nanti kalau pergi bawa saja sekarung beras ini, bisa itu muat di mobil, biar mencoba pula rasanya beras dari ibu”  Obrolan singkat itupun berakhir.
            Namun alangkah kecewanya dia kala itu. Menunggu sebulan, dua bulan, tiga bulan, dan mungkin sekarang telah lebih setahun tak ada yang datang. Hanya angin malam yang membawa kesunyian menerobos masuk tanpa izin lewat lobang-lobang dinding papan rumahnya. Pedih hatinya namun, tak ingin itu tampak diraut wajah renta ini yang hanya akan menambah buruk rupa. Apalagi keluar lewat kata-kata.
            Terkadang dia berpikir kalau dirinya tidak ikhlas. “Ikhlas aku ya Tuhan...” Disetiap doa Ia selalu berharap demikian. Namun Ia tidak megerti entah rasa apa ini. Bingung, tak bisa dia memberikan maknanya walau sedikitpun. Benci. Bukan, tak ada terniat dihatinya untuk memberi tempat pada rasa yang demikian, apalagi terhadap anaknya sendiri. Terkadang ada sesuatu yang dia inginkan, dia rindukan, mungkin juga istrinya merasa demikian atau mungkin lebih. Namun tak pernah terungkapkan apalagi terwujudkan. Seharusnya ada yang mengerti.
Burung-burung pipit mulai berkicau, kembali bernyanyi-nyanyi mengikuti irama derit-derit sepeda ontel tua itu. Berpacu dengan Si lelaki tua menuju ladangnya. Kali ini jalan mulai mendaki. Dia mulai berdiri diatas pengayuh sepedanya dan mulai mengayuh sekuat tenaga yang dia masih punya. Peluh mulai meleleh deras keluar dari pori-pori kulitya yang keriput. Ah tak sanggup aku. Kaki ini sudah tak kuat lagi seperti dulu. Rasanya ini perjalanan yang sangat jauh sekali, wajar kalau sudah renta itu yang terasa, pikirnya. Dia berhenti terduduk lemas diatas rerumputan basah disamping sepeda yang sudah menemaninya bertahun-tahun.
            Terkadang ia juga merasa menyesal telah hidup kedunia. Tak ada yang nikmat didunia ini katanya. Semua serba penuh dengan kepayahan. Kalau bisa memilih tak kan saya pilih untuk hidup di dunia, biarlah dari dulu saya disamping Tuhan saja, tapi tentu Tuhan tak mengizinkan hal itu terjadi, buktinya sekarang Ia sudah disini bertahun-tahun. Itu hanya khayalan, sekarang semua telah terlanjur telah lama saya hidup, diberikan Tuhan seorang anak laki-laki.
            “Oi, malin lah mulai sekolah si Anto ma...” Sapa seseorang yang tengah duduk-duduk dikedai di tepi jalan kampung.
            “ Iya” jawabnya pendek, seraya terus mengayuh sepeda mengantarkan Si Anto kesekolah dihari pertamanya.
            “Anto, rajin-rajin sekolah ya, biar nanti jadi orang pandai, dak kayak bapak. Bapak dak sekolah, ya dak bisa apa-apa, Cuma bisa ke ladang sama ke kebun saja”
            “Ya, pak”
            “mengertikan?!”
            “Ya, pak” jawab Si Anto sekali lagi.
            Matahari mulai meninggi, cahaya pagi mulai terasa menusuk-nusuk mata tuanya, membuatnya tersadar dari lamunan. Diangkat kakinya yang renta. Dipapah sepedanya menyusuri jalan setapak yang mendaki.
            Ketika si Anto telah bersekolah di Tsanawiyah di kecamatan sebelah. Dia bersama istrinya sering bersepeda selama tiga jam hanya untuk menengok si Anto sambil membawakan beras untuk bekal si Anto selama satu bulan. Istrinya duduk dibangku belakang, menggantikan si Anto ketika masih kanak-kanak dulu. Ketika itu dia masih bersemangat masih kuat tidak seperti sekarang, sanggup untuk bersepeda sejauh itu tanpa berhenti.
            Ketika sampai disekolah, ditemuilah Si anak yang tengah duduk bersama kawan-kawannya. Dengan senyum sumringah terpampang diwajah laki-laki dan perempuan itu meski keringat mengalir deras dari tubuh yang memanas setelah bersepeda beberapa jam.
            “Gimana kabarnya ? Beras untuk bulan ini” seraya menyodorkan setengah karung kecil beras. “yang kemarin cukup ndak?”
            “Baik Pak, malah asyik tinggal disini, banyak teman. Masih ada sisa sedikit”
            “Sekolahnya gimana?” lanjutnya.
            “Lancar pak, ga terlalu payah-payah”
            Senyum bahagia yang kembali terpampang diwajahnya. Terbayang sudah anak yang tak kan seperti dirinya yang hanya bisa ke ladang dan ke kebun.
            Dia terus mengayuh dan mengayuh, pikirannya terus melayang-layang diterpa angin pagi yang sejuk. Angin itu terus memompa pikiran-pikiran asing kedalam kepalanya, semakin bertambah banyak, semakin mendesak-desak memenuhi ruang kepalanya. “Bukan tak ikhlas, tapi...ahh tak taulah aku ini”. Dirinya sendiri pun bingung menghadapi apa yang sedang melanda, tapi dia tak melawan ketika pikiran itu terus menyeretnya semakin dalam kedalam lamunannya.
            “Suruh saja si Anto bekerja menggarapnya, tak usah pula sekolah tinggi-tinggi, kalau nanti kerja dikampung juga”
            “Tidak, malah dengan bersekolah itu si Anto makin pandai. Aku berniat menjadikannya tak sama seperti aku ini yang bisanya cuma ke ladang sama ke kebun”
            “Wah...wah..wah...sungguh tak ada lagi sepertinya alasanku untuk melunakkanmu”. Ucap Gindo, kakak Malin, mamaknya Anto. “terserah kau sajalah sekarang. Mau kau jual, kau apakan terserah sajalah sekarang”.
Dari siang tadi Gindo telah menunggu Malin dirumah, Setibanya Malin dirumah, adu mulut tak terhindarkan. Lama. Tapi begitulah akhirnya. Ia berniat menjual kebun karet warisan bapaknya dulu. Memang selama ini Ia yang telah merawat kebun itu, tapi tentu saja Gindo merasa berhak juga atas kebun itu. Namun sepertinya Malin tak mempedulikan si Gindo, Sepertinya tekadnya sudah bulat. Meskipun harus berkeras-keras dengan saudara kandungnya sendiri.
“Ingat Nga, ladang itu telah lama aku urus, sebagian karetnya sudah kuganti. Peninggalan ayah dulu tak ada lagi getahnya. Sudah bertahun tahun aku yang mengurus”
“Jangan sembarangan kau, tanah itu aku juga ada haknya disitu, kalau aku mau aku juga bisa mengurusnya dulu, jangan kau kira bisa seenaknya kau saja menjual. Kubiarkan kau mengurus karena aku kasihan sama kau dulu yang ingin cepat-cepat kawin”
“Tapi aku sangat butuh sekarang, tolonglah Onga paham...”
Embun pagi membasahi kakinya yang hanya bersandalkan sandal jopang lusuh. Keriput-keriput dikakinya tampak jelas diterpa sinar mentari pagi. Tak ingin Ia membayangkan lagi pertengkarannya dengan kakaknya beberap tahun silam, pedih sekali mengingatnya. Beberapa tahun setelah itu Kakaknya meninggal. Namun tak sempat Ia berbaik-baik sebelum kakaknya itu pergi. Tak sempat ia meminta maaf. Kala ia berkunjung kerumah Gindo, hanya dengan istrinya saja Ia banyak berbicara. Meski telah ada niat untuk meminta maaf, namun ketika mulut hendak berucap tak kunjung jua keluar apa yang dimaksud hati. Entah apa yang menghalanginya ketika itu. Sekarang baru sesal yang terasa, ketika semuanya telah terlambat. Namun tak kan berguna apa-apa.
Ingatan masa lalu, begitu banyak. Ada yang senang ada yang pedih, namun meski niat hati tak satupun ingin mengingat. Pikiran aneh itu terus menuntunnya untuk terus mengingat. Mencongkel-cogkel memori kenangan masa lalu yang tersembunyi dalam di otaknya, senang ataupun pedih. Dan terus mengalirkan pikiran-pikiran yang tak dipahaminya.