03/02/2011

MESIR dengan INDONESIA adalah SAHABAT ;) by Kammi Al Hikmah on Tuesday, 01 February 2011 at 22:15

Pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), Hasan Al

Banna ternyata pernah menjadi anggota Panitia

Pembela Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Atas

desakan IM, Mesir menjadi negara pertama yang

mengakui kemerdekaan RI. Dengan demikian,

lengkaplah syarat-syarat sebuah negara berdaulat

bagi RI.

***


Kota pelabuhan Iskandariyah pertengah Juli 1945.

Jam kayu di sebuah penginapan murah di kota

pelabuhan Mesir telah menunjuk angka 22.00 waktu

setempat. Di satu ruangan yang tak seberapa

besar, empat-puluhan kelasi kapal berkebangsaan

Indonesia berkumpul. Sejumlah mahasiswa

Indonesia yang tengah studi di Mesir terlihat

memimpin rapat.

Beda dengan pertemuan sebelumnya, malam itu

atmosfir rapat terasa agak emosionil! Para kelasi

Indonesia yang bekerja di berbagai kapal asing

yang tengah merapat di Iskandariyah, Port Said,

dan Suez itu banyak yang yakin, jihad fii sabilillah

yang tengah digelorakan banga Indonesia

melawan penjajah belanda dalam waktu dekat

akan sampai pada puncaknya.

Muhammad Zein Hassan, salah seorang

mahasiswa Indonesia yang hadir, berpesan pada

para kelasi agar mulai menabung. “Di saat

terjadinya jihad, mereka sebaiknya meninggalkan

kapal-kapal sekutu agar tidak menodai

perjuangan. ”

Sambutan para kelasi yang dalam kesehariannya

jauh dari tuntunan agama itu sungguh

mengharukan. Mereka dengan sepenuh hati

menyanggupi hal tersebut. “Jika fatwa sudah

turun, kami akan mematuhi,” ujar salah seorang

dari mereka.

Tak terasa, jam telah berada di angka satu. Acara

ditutup dengan sumpah setia dengan perjuangan

bangsanya yang nun jauh di seberang lautan.

Seluruh peserta mengangkat tangan kanan dan

dikepalkan. Dengan menyebut nama Allah SWT,

mereka bertekad akan membantu dengan sekuat

tenaga jihad fii sabilillah yang akan digelorakan

bangsanya dalam waktu dekat ini.

Sumpah para kelasi tersebut tidak main-main.

Terbukti di kemudian hari, dua bulan setelah

proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta, dua orang

kelasi Indonesia tiba di Kairo dengan berjalan kaki

dari Tunisia.

“Saat kami tanya mengapa berjalan kaki sejauh

itu, mereka menjawab bahwa mereka menerima

fatwa yang dibawa teman-teman mereka dari

Indonesia. Fatwa itu menyatakan haram

hukumnya bekerja dengan orang kafir yang

memerangi kaum Muslimin, ” ujar Zein Hassan.

Walau tidak punya cukup uang, dua orang kelasi

itu segera meninggalkan kapal sekutu tempatnya

bekerja dan berjalan kaki menuju Mesir, karena di

Mesir-lah berada banyak orang sebangsanya.

Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap

antipati terhadap penjajahan Inggris. Sikap non

kooperatif terhadap penjajah Inggris ini

dicetuskan oleh organisasi Al-Ikhwan Al-

Muslimun yang mendapat sambutan luar biasa

dari rakyat Mesir.

Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat

geografis, Al-Ikhwan Al-Muslimun telah memiliki

“ jaringan iman” dengan berbagai gerakan Islam di

seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya, Sekutu dengan sekuat tenaga

memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah.

Dikhawatirkan jika kemerdekaan Indonesia

sampai didengar umat Islam di sana, ini bisa

menjadi inspirasi bagi gerakan serupa di Timur

Tengah.

Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini,

akhirnya pada awal September 1945, sebulan

setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, berita

ini sampai juga ke Mesir.

Mansur Abu Makarim, seorang informan

Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di

Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia

dalam suatu artikel di majalah Vrij Nederland.

Bagai angin berhembus, berita ini dengan cepat

menyebar ke Dunia Islam.

Koran dan radio Mesir memuat berita

kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para

penyiar dengan penuh semangat mengatakan

bahwa inilah awal kebangkitan Dunia Islam

melawan penjajahan Barat.

Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai

sepuluh pound Mesir jika dibunuh atau dilindas

kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengadu atau

menggugat. Sebab itu, proklamasi kemerdekaan

sebuah negeri Muslim terbesar di dunia ini

disambut dengan luapan kebahagiaan.

Di sejumlah kota, Al-Ikhwan Al-Muslimun segera

menggelar munashoroh besar-besaran

mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini

dijadikannya momentum momentum yang

bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris.

Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan

Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk

“ Lajnatud Difa’i'an Indonesia” (Panitia Pembela

Indonesia). Badan ini dideklarasikan pada 16

Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan

Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya

sebagai pimpinan pertemuan.

Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al

Banna dan Prof. Taufiq Syawi dari Al-Ikhwan Al-

Muslimun, Pemimpin Palestina Muhammad Ali

Taher, dan Sekjen Liga Arab Dr. Salahuddin

Pasya.

Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah

Islamiyah, pakar hukum internasional Dr. M.

Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara

Islam untuk sesegera mungkin mendukung,

membantu, dan mengakui kemerdekaan RI.

Selain itu, Panitia Pembela Indonesia juga

mengancam Inggris agar tidak membantu

Belanda kembali ke Indonesia.

“Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke

Indonesia, maka Inggris akan menuai kemarahan

Dunia Islam di Timur Tengah !” ancam Salahuddin

Pasya.

Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela

“ kawan seakidah” bernama Belanda. Pasukan

NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.

Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU

pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan

mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan

penjajah. Fatwa ini bergema ke seluruh nusantara

dan disambut dengan gegap gempita.

Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi

pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

(hingga kini 10 November diperingati sebagai hari

Pahlawan di Indonesia, red.). Untuk

memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung

Tomo lewat corong radio perlawanan – cikal

bakal RRI – terus menerus mengingatkan para

mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas

bagi mereka yang syahid.

Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT

yang mampu membuat ribuan rakyat Surabaya

berani melawan pasukan Sekutu bersenjata

lengkap.

Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema

hingga ke Dunia Arab. Keberanian umat Islam

Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan

Sekutu yang habis mabuk kemenangan dalam

Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal

Sekutu – Malaby – di Surabaya, dirasakan oleh

kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian dari

kemenangan Islam atas kaum kafir. Upaya

perlawanan terhadap Inggris di Mesir pun kian

membuncah.

Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah,

Baghdad, dan negeri-negeri Timur Tengah,

dengan serentak umat Islam mendirikan sholat

ghaib untuk arwah para syuhada di Surabaya.

Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46)

dengan nada salib menakut-nakuti Barat dengan

kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia

Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim

terbesar di dunia seperti di Indonesia akan

menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya

untuk membebaskan diri dari Eropa. ”

Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah

terhadap kemerdekaan Indonesia tidak saja

dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga

dalam dunia diplomasi. Dalam berbagai sidang di

Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan jelas

adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri

Muslim yang mendukung Indonesia dengan

negeri-negeri salib yang memandang Indonesia

masih bagian dari Belanda.

Wakil-wakil dari Indonesia di sidang PBB,

diperbolehkan ikut sidang setelah negeri-negeri

Arab mengakui kedaulatan RI, dalam menghadapi

serangan pihak Sekutu sering menanggapinya

dengan cara diplomatis dan terkesan lunak. Hal ini

dikecam keras Muhammad Ali Taher dari

Palestina.

“Mengapa kamu masih saja bersikap diplomatis

terhadap seseorang yang ingin menghancurkan

negeri kamu !” sergahnya mengingatkan wakil dari

Indonesia agar tidak takut melawan kezaliman.

Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim

bernama Indonesia memplokamirkan

kemerdekaannya dari penjajah kafir, Al-Ikhwan

Al-Muslimun tanpa kenal lelah terus menerus

memperlihatkan dukungannya.

Selain menggalang opini umum lewat

pemberitaan media, yang memberikan

kesempatan luas kepada para mahasiswa

Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan

Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai

acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar.

Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan

Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali

mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak

hanya dengan slogan dan spanduk, aksi

pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-

teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap

dilakukan mereka.

Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo

ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot

lambang negaranya dari dinding Kedutaan.

Mereka juga menurunkan bendera merah-putih-

biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar

tidak mudah dikenali pada demonstran.

Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas

kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi yang

dilakukan para pemimpin Al-Ikhwan Al-

Muslimun, membuat pemerintah Mesir mengakui

kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22

Maret 1946.

Inilah pertama kalinya suatu negara asing

mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam

kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah

syarat Indonesia sebagai sebuah negara

berdaulat.

Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir

juga memberikan bantuan lunak kepada

pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan

serupa dari negara-negara Timur Tengah.

Untuk menghaturkan rasa terima kasih,

pemerintah Soekarno mengirim delegasi resmi ke

Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah

delegasi pemerintah RI pertama yang ke luar

negeri. Mesir adalah negara pertama yang

disinggahi delegasi tersebut.

Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI

kembali tiba di Kairo. Beda dengan kedatangan

pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini

lebih intens. Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo,

sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab

mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan

rasa simpati. Selain pejabat negara, sejumlah

pemimpin partai dan organisasi juga hadir.

Termasuk pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun

Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan

dengan diiringi puluhan pengikutnya.

Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia,

diikuti serius oleh setiap Muslim baik di Mesir

maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para

mahasiswa Indonesia yang saat itu tengah

berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi

revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan

Ikhwan.

Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli

1947) atas Indonesia, para mahasiswa Indonesia

di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi

pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang

memasuki selat Suez.

Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang

memberi kebebasan bagi siapa saja untuk bisa

lewat terusan Suez, namun keberanian para

buruh Ikhwan yang menguasai Suez dan Port

Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda.

Pada tanggal 9 Agustus 1947, rombongan kapal

Belanda yang dipimpin kapal kapal Volendam tiba

di Port Said. Ribuan aktivis Ikhwan yang

kebanyakan terdiri dari para buruh pelabuhan,

telah berkumpul di pelabuhan utara kota

Ismailiyah itu.

Puluhan motor boat dan motor kecil sengaja

berkeliaran di permukaan air guna menghalangi

motor-boat motor-boat kepunyaan perusahaan-

perusahaan asing yang ingin menyuplai air

minum dan makanan kepada kapal Belanda itu.

Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja

dipasangi bendera merah putih. Dukungan

Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan

sebatas dukungan formalitas, tapi dukungan yang

didasari kesamaan iman dan Islam.

Walau pemimpin Ikhwan Hasan Al Banna

menemui syahid ditembak mati oleh begundal

rezim Mesir di siang hari bolong, 12 Februari

1949, dukungan ikhwan terhadap muslim

Indonesia tidaklah berakhir. Dakwah tiada kenal

kata akhir, hingga Islam membebaskan semua

manusia.

___

Sumber: Majalah Saksi – No. 21 Tahun VI, 18

Agustus 2004. Oleh: Rizki Ridyasmara

0 comments: